MUARA ENIM,Vijaronlne.com--Ratusan warga Desa Tanjung Terang, Kecamatan Gunung Megang, menggelar aksi damai ke Kantor Bupati dan DPRD Kabupaten Muara Enim, Senin (23/6/2025).
Aksi yang berlangsung sejak pukul 09.20 hingga 12.00 WIB ini membawa misi tegas: mendesak penegakan hukum atas dugaan penganiayaan terhadap Pizi binti Mahdin (34), warga desa yang menjadi korban kekerasan yang diduga dilakukan oleh Kepala Desa Tanjung Terang, Rusmada.
Massa aksi diterima oleh Sekretaris Daerah, Ir. Yulius, M.Si di halaman kantor Bupati, dalam orasinya, koordinator aksi Ratu Fadil menyampaikan suara masyarakat yang resah atas lambannya proses hukum dan diamnya lembaga negara terhadap kekerasan yang menimpa perempuan desa.
“Kami berdiri hari ini bukan sebagai kelompok pengacau, kami berdiri sebagai rakyat yang terluka. Terluka karena hukum diam ketika kekuasaan melakukan kekerasan yang terjadi di Tanjung Terang adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan,” tegas Fadil.
Yulius mengapresiasi kedatangan massa dan menjelaskan bahwa sebagian tuntutan berada diluar kewenangan Pemda. Ia menyatakan akan segera melaporkan tuntutan masyarakat kepada Bupati Edison, SH., M.Hum.
“Terkait penonaktifan kades, ada mekanisme hukum yang harus diikuti. Jangan sampai keputusan yang kita ambil justru melanggar aturan,” ujar Yulius.
Saat aksi di gedung DPRD, massa diterima oleh anggota dewan M. Azhari, S.H, Muallimin Fajarudin, S.Pt, dan Harmison, S.E. Dalam forum dengar pendapat, korban Pizi menjelaskan langsung kronologi penganiayaan di hadapan para anggota dewan dan aparat yang hadir.
Namun yang mengejutkan, alih-alih menunjukkan empati dan komitmen politik terhadap perlindungan warga, Harmison justru melontarkan pernyataan yang dinilai menyudutkan korban dan menyamarkan substansi masalah.
“ Aku ni tidak dapat suara di Tanjung Terang, tapi tidak apa-apa, Saya tanya, suami ibu di mana saat kejadian?” tanya Harmison.
Pizi menjawab singkat, “Suami saya di penjara.”
Ia kemudian menambahkan, “Saya tidak terlalu paham hukum, tapi kalau tidak salah, hukum itu ada sebab akibat. Tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Masalah ini ranah pribadi kalau masalah tanah, pekerjaan dan lain-lain itu baru bisa."
Tak berhenti di situ, Harmison justru mengalihkan fokus pembahasan ke rencana investasi dan pembangunan pabrik di desa:
“Saya sudah survei, saya ingin bangun pabrik di sana. Jangan buat ricuh, kami hanya memikirkan kesejahteraan masyarakat.”
Pernyataan ini mengundang kekecewaan dari sebagian peserta forum, karena dianggap tidak peka terhadap isu kekerasan terhadap perempuan, dan mencoba menukar tuntutan keadilan dengan janji pembangunan.
Berdasarkan pengakuan korban dan laporan resmi ke Polsek Gunung Megang, dugaan penganiayaan meliputi tindakan penjemputan paksa, penyekapan, pemukulan, penjambakan rambut, serta tekanan fisik dan psikis yang dilakukan di hadapan anak korban yang masih kecil.
Tindakan ini jelas melanggar Pasal 351 KUHP Ayat (1): “Penganiayaan dihukum dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.”
Pasal 76C jo. Pasal 80 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak: “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan terhadap anak, termasuk menyaksikan kekerasan.”
Pasal 333 KUHP: “Barang siapa dengan sengaja merampas kemerdekaan orang lain dapat dipidana karena menyekap atau menahan.”
Ini adalah tindak pidana publik, bukan masalah pribadi, dan negara wajib bertindak.
DPRD Bisa Ikut Campur: Rekomendasi Penonaktifan Kades Ada Dasarnya
Pasal 29 huruf c UU Desa (UU No. 6 Tahun 2014): “Kepala desa dilarang melakukan tindakan yang meresahkan masyarakat.”
Pasal 5–6 Permendagri No. 82 Tahun 2015 tentang Pemberhentian Kades:
“Kepala desa dapat diberhentikan sementara jika sedang menjalani proses hukum pidana berat.”
DPRD berhak memberikan rekomendasi kepada bupati untuk menonaktifkan kepala desa selama proses hukum berlangsung demi menjaga netralitas dan keamanan.
Forum Ditutup, Suara Korlap Nyaris Tak Terdengar. Setelah paparan Pizi, tanggapan Harmison, keterangan dari Polres, UPTD PPPA dan Inspektorat. pimpinan rapat langsung menutup forum tanpa memberi waktu kepada perwakilan massa menyampaikan penutup. Namun Ratu Fadil tetap memohon kesempatan bicara.
“Kami akan terus mendukung pembangunan, tapi kami juga punya hak untuk mengawasi. Kami tidak ingin desa dipimpin oleh pelaku kekerasan. Kami datang bukan untuk gaduh, tapi menuntut keadilan,” ujar Fadil.
Adapun 5 poin tuntutan warga Tanjung Terang sebagai berikut;
1. Penetapan tersangka dan penahanan terhadap Kades Tanjung Terang atas dugaan penganiayaan berencana dan penyekapan.
2. Pendampingan hukum dan psikologis dari Unit PPA Polres Muara Enim untuk korban dan anaknya yang mengalami trauma berat.
3. Penonaktifan sementara Kades oleh Bupati demi netralitas proses hukum dan keamanan saksi.
4. Pengawalan proses hukum oleh DPRD agar berjalan transparan dan bebas intervensi.
5. Pernyataan bahwa dugaan kekerasan oleh Kades bukan kali ini saja terjadi.
Kasat Intel Polres Muara Enim, IPTU Eddy Tri Jauhariansyah, turut hadir dan menyampaikan bahwa kasus ini tengah berjalan di ranah hukum.
“Kami bekerja secara profesional. Proses hukum masih berlangsung. Kami minta semua pihak bersabar,” Tegasnya. (Tim)
0 Comments