PRABUMULIH,Vijaronline.com— Keluhan warga terdampak banjir di Kota Prabumulih akhirnya menemukan jawabannya. Bukan karena bantuan tidak ada, melainkan karena banjir yang terjadi tidak diakui sebagai bencana oleh Pemerintah Kota Prabumulih.
Banjir yang melanda Prabumulih pada Rabu malam, 10 Desember 2025, akibat luapan Sungai Kelekar, dinilai tidak memenuhi indikator pemberian bantuan sebagaimana ketentuan Dinas Sosial dan BPBD.
Kepala Dinas Sosial Kota Prabumulih, Heriyanto, menegaskan bahwa pemerintah hanya dapat menyalurkan bantuan apabila kondisi bencana menghentikan aktivitas masyarakat minimal selama 2×24 jam dan ditetapkan melalui surat keputusan BPBD.
“Kalau belum 2×24 jam dan masyarakat masih bisa beraktivitas, maka belum masuk kategori bencana yang wajib dibantu,” ujar Heriyanto, Selasa (16/12/2025).
Menurutnya, banjir di Prabumulih pekan lalu hanya bersifat sementara dan air dinilai “hanya lewat”, sehingga tidak menghambat aktivitas warga secara menyeluruh.
Pernyataan tersebut menjelaskan mengapa tidak ada bantuan pangan, logistik, maupun bnatuan kainnya yang disalurkan secara resmi oleh Pemkot Prabumulih kepada warga terdampak.
Padahal di lapangan, air dilaporkan masuk ke rumah warga hingga setinggi pinggang orang dewasa, merendam perabot, peralatan elektronik, dan mengakibatkan kerugian materi.
Namun karena banjir tidak bertahan lebih dari dua hari, kondisi tersebut tidak memenuhi syarat administratif untuk penetapan status bencana.
Satu-satunya bantuan yang diterima warga berupa nasi bungkus, yang dibagikan secara pribadi oleh Wali Kota Prabumulih H. Arlan, Wakil Wali Kota Franky Nasril, serta Ketua DPRD Prabumulih Deny Victoria saat meninjau lokasi banjir.
Bantuan serupa juga datang dari beberapa pihak lain, namun tidak terkoordinasi dan tidak merata, karena bukan bagian dari program resmi pemerintah.
Akibatnya, banyak warga hanya menerima satu bungkus nasi untuk satu rumah, itupun tidak semuanya, serta tanpa tindak lanjut bantuan lain.
Di saat warga Prabumulih tidak menerima bantuan resmi, Pemkot Prabumulih justru menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dengan nilai lebih dari Rp2 miliar.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan publik tentang prioritas penanganan bencana dan penggunaan indikator bantuan yang dinilai terlalu kaku.
Fakta di lapangan menunjukkan, bukan karena tidak ada empati, tetapi karena aturan administratif menjadi penghalang utama.
Kekecewaan warga tergambar dari pernyataan Supri, warga Kelurahan Karang Raja, yang rumahnya terendam banjir hampir sepinggang orang dewasa.
“Kalau memang harus dua hari dulu rumah kami terendam baru dibantu, berarti pemerintah nunggu airnya betah di rumah kami. Kalau cepat surut, kami dianggap baik-baik saja,” sindir Supri.
Menurutnya, warga tidak menuntut bantuan besar, tetapi kehadiran pemerintah yang adil dan responsif terhadap kondisi nyata di lapangan.
“Air memang lewat, tapi kulkas, kasur, dan barang kami rusak. Harapan kami sederhana, jangan tunggu penderitaan jadi parah dulu baru datang,” ujarnya.(*)












0 Comments